Telah terbit di Koran Republika Rabu, 26 Agustus 2019, hal. 10
Oleh : Dr. Oni Sahroni, MA
(Dewan Pengawas Syariah Inisiatif Zakat)
Syariah tidak hanya sekedar akad; tidak hanya sekedar siapa, apa, dan bagaimana prosesnya. Tetapi, objek transaksi halal dan legal, hak dan kewajibannya jelas, terhindar dari transaksi yang dilarang dan merugikan para pelaku dan masyarakat, dilakukan dengan adab dan akhlaknya. Bahkan akad tidak hanya tentang isi perjanjian dan ijab qabul, tetapi juga substansi dan objek akad transaksi.
Lebih jelasnya bisa dijabarkan dalam poin-poin berikut: Pertama, Bebas transaksi yang terlarang dulu, baru merangkai akad. Maksudnya, merangkai akad setelah memastikan aktivitas muamalah itu halal.
Seperti unsur ridha yang harus ada dalam setiap transaksi itu berlaku dalam transaksi yang halal. Saat transaksi tidak halal seperti jual beli minuman yang memabukkan, maka saling ridha itu tidak akan membuat transaksi haram jadi halal.
Misalnya, seorang pialang menjalani aktivitas sebagai mafia hukum tidak mungkin di-potret dengan akad samsarah, atau jualah, atau ijarah, karena objek transaksinya tidak halal.
Kedua, Jelas apa, siapa, dan bagaimana. Merangkai akad itu merumuskan ketentuan hak dan kewajiban para pihak. Sebagaimana terjadi pada akad-akad baik yang dijelaskan dalam fikih ataupun yang belum dijelaskan dalam fikih klasik.
Sebagaimana kesimpulan banyak referensi tentang akad seperti yang ditulis oleh Ali Muhyiddin, Abdul Sattar Abu Ghuddah, dan Ali Mar’i.
Misalnya, saat si A menempatkan dananya dalam produk tabungan sebagai investasi, maka berlaku seluruh ketentuan bagi hasil. Berbeda saat sebagai titipan, maka berlaku ketentuan utang piutang.
Saat si A mendaftarkan anaknya di sekolah dan membayar SPP bulanan atas jasa layanan akademik, maka di-potret sebagai ijarah dan berlaku seluruh ketentuannya.
Saat seseorang naik dan membayar uang kepada ojek online, maka termasuk jual beli jasa dan berlaku seluruh ketentuannya.
Ketiga, Sesuai dengan substansi dan targetnya. Idealnya merangkai akad dan menerapkannya dalam suatu aktivitas bisnis atau produk keuangan itu mempertimbangkan substansi dan motif bisnis tersebut agar akad yang dirangkai sesuai dengan maksud para pelaku akad tersebut. Sebagaimana penegasan sebagian ulama tentang pentingnya kesesuaian proses bisnis dengan substansi/target (muqtada aqad).
Saat sepuluh orang patungan beli sapi untuk kurban, itu tidak dikategorikan kurban tetapi sedekah daging, walaupun tidak mengurangi nilai pahalanya. Sebagaimana substansi kurban yang sarat dengan komitmen terhadap nash.
Seperti mewakafkan dana yang tidak halal, sesungguhnya jika dilihat dari substansi, maka itu termasuk sedekah dana non halal (bukan wakaf).
Terlebih saat memperlakukan akad pada produk dan aktivitas yang sudah terjadi dan disusun sistemnya seperti pola jual beli di mall, swalayan, dan di marketplace, di mana mempertimbangkan motif dari pelaku bisnis agar akad yang didesain mendekati motif dan tujuan mereka.
Keempat, Adab-adab muamalah. Merangkai akad juga harus dilengkapi dengan komitmen para pihak untuk menunaikannya dengan adab-adab bermuamalah seperti komitmen, profesional, dan tafahum.
Fikih harus dilengkapi dengan adab, di mana pada umumnya, bahasan fikih pada sah atau tidaknya suatu aktivitas. Sedangkan adab adalah ketentuan yang menyempurnakan fikih.
Bayangkan jika bisnis dikelola memenuhi rukun dan syaratnya tetapi para pihaknya cacat komitmen, wanprestasi, tidak jujur melaporkan realisasi usaha, dan sejenisnya, maka bisnis dan aktivitas muamalah lainnya akan luluh lantak, tidak menghasilkan apa-apa, bahkan merusak persaudaraan.
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam banyak literatur seperti Minhaj al-Qashidin, Mitsaq Rijal al-A’mal, Adab at-Tajir, al-Adab al-Mufrad, dan at-Targhib wa at-Tarhib. Wallahu a’lam.