Liputan6.com, Jakarta  Indonesia dinilai memang membutuhkan bank syariah besar yang memiliki kemampuan penyaluran pembiayaan yang kuat dengan produk yang komprehensif.

Ini sejalan dengan upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai episentrum industri halal perlu didukung oleh industri keuangan syariah yang mumpuni. 

Berdasarkan data State of Global Islamic Economy (SGIE) Report 2020/2021, ekonomi syariah Indonesia berada pada urutan keempat, setelah Malaysia, UAE, Bahrain, dan Arab Saudi.

Padahal, Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Indikator yang menjadi penilaian SGIE antara lain keuangan syariah, pariwisata, industri fesyen, obat-obatan, kosmetik, dan produk makanan. Dari seluruh indikator tersebut, Indonesia rata-rata berada dalam peringkat 10 besar.

Ada dua sektor yang masuk dalam peringkat 5 besar, yakni makanan dan minuman serta fesyen. Terkait itu, Ketua Badan Ekonomi Syariah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Taufan Rotorasiko mengatakan mengakselerasi perbankan syariah tidak cukup dengan pertumbuhan organik.

Perbankan syariah di Indonesia, dengan seluruh stakeholder-nya harus mampu membuat produk perbankan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan pengusaha dari segala sektor.

“Sehingga menjadi lebih menarik buat masyarakat dan kalangan pengusaha untuk bergabung dengan bank syariah baik dari sisi produk perbankannya maupun pemanfaatan produk pinjamannya yang tentunya lebih terasa mudah dan murah serta aman dan nyaman,” katanya belum lama ini.

 

Dia melanjutkan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dengan demikian potensi untuk mengakselerasi pertumbuhan industri keuangan syariah sangat besar.

Hal yang menjadi ironi saat ini adalah rendahnya indeks literasi dan inklusi keuangan syariah di negara dengan mayoritas penduduk muslim.

Sebagai catatan, pada 2019, tingkat literasi keuangan syariah naik menjadi 8,93 persen dari sebelumnya 8,1 persen pada periode survei 2016.

Meski mengalami kenaikan, angka tersebut masih jauh di bawah indeks literasi keuangan konvensional yang sebesar 37,72 persen.

Sementara itu, untuk tingkat inklusi keuangan syariah yang berkaitan dengan pemanfaatan produk dan layanan jasa keuangan syariah sudah mencapai 9,1 persen untuk bank syariah. Indikator yang sama untuk bank konvensional sudah mencapai 75,28 persen.

Menurut Taufan, salah satu penyebab rendahnya literasi dan inklusi keuangan syariah di Indonesia adalah adanya persepsi bahwa ekonomi dan keuangan syariah hanya untuk orang Islam dan orang tua.

Tak hanya itu, masih banyak masyarakat juga yang mengira produk keuangan syariah sama dengan konvensional dan hanya diganti istilah saja, seperti deposito menjadi mudharabah, dan pembiayaan menjadi murabahah.Oleh karena itu Indonesia membutuhkan bank syariah besar yang mampu mengubah pola pikir tersebut.

“Terutama pada mindset generasi millenial dan gen Z, serta meyakinkan masyarakat, terutama kepada masyarakat unbankable di sekitar pesantren, jika proses dalam bank syariah sudah sesuai dengan syariat Islam, sehingga tidak riba,” katanya.

Adapun, terkait upaya Indonesia memiliki bank syariah dengan produk yang lengkap, dia mendukung perbankan melakukan konsolidasi untuk menjawab kewajiban pemisahan atau spin-off unit usaha syariah (UUS).

Sebagaimana diketahui, UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengharuskan UUS memisahkan diri dan bertransformasi menjadi badan umum syariah (BUS) pada 2023.

Hal ini artinya, tersisa sekitar 17 bulan bagi bank umum konvensional yang memiliki UUS untuk menyiapkan modal tambahan. Kewajiban spin-off juga berlaku untuk UUS yang sudah memiliki nilai aset 50% dari total nilai bank induknya.

“Konsolidasi adalah langkah paling tepat dan ideal bagi unit usaha syariah untuk memisahkan diri di tengah tenggat waktu yang semakin mepet. Dengan konsolidasi, lebih menjamin penguatan sebuah bank dari sisi permodalan, sehingga dapat memperkuat industri keuangan syariah,” kata Taufan.

Terpisah, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Teguh Supangkat mengatakan bahwa spin-off dapat dilakukan dengan memerhatikan aspek konsolidasi. Dengan demikian akan menghasilkan bank syariah yang kuat.

 

Sementara itu, hingga Februari 2022, OJK mencatat Indonesia memiliki 12 bank umum syariah dan 21 unit usaha syariah.

Adapun untuk bank syariah terbesar, saat ini PT Bank Syariah Indonesia Tbk. atau BSI adalah bank yang menguasai lebih dari 40 persen aset perbankan syariah di Tanah Air. Per Mei 2021, BSI membukukan aset senilai 243,3 triliun, jauh meninggalkan bank syariah lainnnya.

BSI pun memiliki rencana tumbuh secara anorganik dengan mengakuisisi UUS PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.

Di sisi lain, dari total industri perbankan syariah, per Februari 2022 aset tumbuh sekitar 13,2 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) menjadi Rp 665 triliun.

Pada periode yang sama total industri perbankan mencatatkan pertumbuhan aset sebesar 10,3 persen yoy menjadi Rp 10.061 triliun.

Kendati tumbuh di atas industri, secara nilai, aset bank syariah tergolong sangat kecil. Bank syariah hanya berkontribusi 6,2 persen terhadap aset sektor perbankan. Begitu pula dengan penyaluran pembiayaan dari bank syariah.